Pages

Thursday, August 20, 2009

Tidakkah Kita Patut Untuk Lebih Bersyukur...?

~~~~~

Bertahan di Alas Kedungserut - Sunaryo Adhiatmoko


Siang itu, panas menyengat, seakan hendak membakar daun-daun jati kering di Alas (hutan) Kedungserut, Jiken, Blora. Tapi, Parman bergeming, ia terus menggali akar kayu jati bekas ditebang. Sekujur tubuhnya dibasahi peluh.

Untuk mengangkat akar jati yang terpendam, Parman harus menggali hingga dua meter. Kemudian, ia mengayuhkan kapak untuk memotong dan membelahnya. Selendang kumal, terikat kuat di perutnya. Tulang rusuknya tampak jelas dilapisi kulit tipis mengkilap, karena keringat. Semangatnya, bak Haryo Penangsang, sosok yang melegenda dalam sejarah wali-wali Jawa di bumi Blora.

Selendang yang terikat di perutnya, bukan jimat kekuatan. Selendang itu, untuk menahan lapar. Mengingatkan, tatkala Rasulullah mengganjal perut pakai batu, untuk menahan lapar. Parman dan pencari kayu lainnya di alas Kedungserut, melakukan kebiasaan itu, agar tenaga mampu bertahan hingga sore hari.

"Kalau ketemu ubi, masih mending bisa ganjal perut," kata ayah lima anak yang sudah 20 tahun mencari kayu bakar itu.

Di hutan jati yang tanahnya kering, suatu keberuntungan jika dapat menemukan ubi. Jika dapat, ubi tidak perlu dibakar, tapi langsung dimakan. Menurut Parman, menyalakan api di hutan bisa sebabkan kebakaran. Apalagi, saat musim kemarau begini daun jati sedang masa gugur.

Perjuangan hidup di alas Kedungserut, dimulai Parman dan para pencari kayu bakar lainnya, sejak lepas subuh. Mereka berbekal air putih. Menuju hutan, 15 km dari rumah mengendarai sepeda pancal. Sepeda tua yang umurnya sudah puluhan tahun. Kadang, rantainya putus di tengah jalan, kerap juga bannya yang meletus.

Blora, dikenal daerah sulit air. Masyarakat desa, mengandalkan hidup dari bertani. Tapi, curah hujan yang kecil, menyebabkan panen rata-rata satu kali setahun. Selanjutnya, mereka mengisi hari-hari dengan merantau menjadi buruh bangunan di kota-kota besar.

Meski alamnya keras, banyak juga yang tak lari dari Blora. Mereka tetap bertahan, dengan sumber daya hidup yang terbatas. Bagi yang punya tenaga kuat, mencari kayu bakar seperti Parman, jadi satu-satunya harapan hidup. Meski, antara tenaga yang diperas dengan penghasilan tidak sebanding.

Parman dan teman senasibnya, mulai keluar hutan lepas zhuhur. Mereka menyusun tumpukan akar kayu jati, hingga dua meter di atas sepeda. Dari dalam hutan, perlahan-lahan sepeda yang sarat muatan kayu bakar, didorong. Tangan-tangan kering, tapi agak kekar itu, bergetar hebat menopang keseimbangan kayu dan sepeda. Sulit membedakan, bergetar karena menahan lapar apa lantaran berat. Tapi, tampak dua-duanya.

Siang merambat pukul 13.30, Parman beriringan dengan temannya menyusuri jalan raya Cepu - Blora. Panas membakar aspal, hingga tampak mendidih dari kejauhan. Tapi, kaki para pencari kayu bakar itu menapak tanpa alas kaki. Dari alas Kedungserut, mereka menuju ke pusat kota, seperti Jepon. Jika jalan datar dan turun, sepeda sarat muatan itu, dinaiki pelan-pelan.

Mereka menempuh jarak 15 km, sembari menjajakan kayu di sepanjang jalan. Jika nasib baik, belum sampai pasar dan tempat pengepul, kayu mereka sudah ada yang membeli di perjalanan. Satu sepeda, biasanya dibeli Rp 25 ribu. Mereka mencari kayu tiap hari, akan istirahat jika badan benar-benar lelah.

Dalam bincang, saat istirahat di pinggir jalan Brumbung, Jepon, Parman mengurai strategi hidup bertahan di Blora. Dengan penghasilan tak lebih dari Rp 400 ribu per bulan, Parman dan keluarganya harus hidup hemat. Untuk makan saja misalnya, Parman menunggu saat perut memang sedang lapar-laparnya. Dia dan istrinya bahkan kerap satu kali makan sehari.

"Setiap hari kami biasa puasa mas. Untuk makan dua kali saja takut, besok bagaimana," curah Parman, saat berbincang persiapan jelang Ramadan, Senin, awal pekan lalu. Di atas bumi tempat Parman berpijak, sesungguhnya pusat penghasil dolar dari minyak dan gas. Tapi ketimpangan itu amat dalam.

Sehari bersama Parman, banyak pelajaran hidup yang dipetik. Saat Al-Azhar Peduli Ummat, menyelipkan bantuan jelang Ramadhan ke sakunya, Parman terbelalak. Mulutnya kaku untuk berucap. Raut mukanya yang keras mendadak sendu. Parman haru, matanya berkaca-kaca.

"Tak ada pilihan lain, saya akan tetap bertahan di alas Kedungserut," lirih Parman berucap, sembari berkata terima kasih.

(sumber : www.detik.com)

~~~~~

Lalu pantaskah kita masih mengeluh dan terus mengeluh akan hidup ini, sedangkan makan 3 kali sehari telah tercukupi dengan layak?

Tidak malukah kita pada sosok Parman, yang tidak kenal menyerah?

Saturday, August 15, 2009

Indonesia Tanah Air Siapa?


Indonesia tanah air siapa?
katanya tanah air beta

Indonesia sejak 65,
janjinya rakyat sejahtera

Nyatanya kini kubertanya
Petani digusur sawahnya
rakyat, buruh hidup menderita

sampai akhir menutup mata.

Saturday, August 1, 2009

One Bad Day in My Life


~~~~~

Sebel, illfill dan sejuta perasaan dongkol lainnya.

Yupss..., hari ini saya merasa hampir-hampir frustasi.
Mungkin terlalu berlebihan, tapi jujur baru kali ini saya dipusingkan dengan proses instalasi operating system.

CD Windows yang saya miliki semuanya error, termasuk CD pinjaman dari seorang teman.

SIAL-nya saya sudah terlalu semangat dengan memformat ulang operating system yang lama.

~~~~~

Untungnya, saya punya CD operating system cadangan, yaitu UBuntu 8.10.
Akhirya disela keputusasaan, saya lakukan instalasi dengan operating system tersebut. Sebetulnya saya telah lama ingin beralih menggunakan Linux, tapi tuntutan pekerjaan yang selalu berkutat dengan aplikasi yang menggunakan software berplatform Windows-lah yang selalu menjadi kendalanya.

~~~~~

Mungkin inilah titik awal dimana saya dipaksa untuk migrasi dari Windows

~~~~~